Tradisi di Kabupaten Badung, Bali
TRADISI
DI KABUPATEN BADUNG
1.
Upacara
Perang Ketupat

Tradisi
Upacara Perang Ketupat atau sering juga disebut Aci Rah Pengangon merupakan
upacara di Pulau Bali yang bermakna sebagai bentuk ungkapan rasa terima kasih
kepada Sang Hyang Widhi, atas hasil panen, terhindar dari kekeringan, juga doa
untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Upacara Perang
Ketupat ini diadakan di desa Kapal, kabupaten Badung-Bali.
Upacara
Perang Ketupat pertama kali diadakan kira kira abad 13 masehi dan dirayakan 1
tahun sekali saat ini. Upacara Perang Ketupat ini Pelaksanaan nya di
diawali dengan melakukan upacara sembahyang bersama oleh seluruh warga desa di
pura setempat. Pada saat upacara tersebut berlangsung, sambil membaca mantra
mantra pemangku adat memercikan air suci keseluruh warga peserta Perang Ketupat
lalu berdoa memohon kepada Hyang Widhi agar upacara Perang Ketupat bisa suksess
dan memberikan kesejahteraan dan keselamatan para warga desa.
Selesai
melakukan sembahyang di pura, peserta menyiapkan amunisi, di sini lah terdapat
keunikan perang ketupat, sesuai dengan namanya, amunisi tersebut adalah ketupat
hasil dari sumbangan para warga desa Kapal, Badung yang berjumlah ribuan yang
dikumpulkan, yang akan digunakan untuk melempar musuh atau lawan.
Peserta
upacara Perang Ketupat ini di bagi dua kelompok dan saling berhadapan satu sama
lain, setelah semuanya siap, jalanan yang ada di depan pura akan ditutup selama
30 menit untuk semua kendaraan bermotor. Kemudian, “perang” pun dimulai. Dengan
terlebih dahulu diberikan aba aba, aksi saling lempar melempar ketupat menjadi
saat menarik karena begitu riuh dengan sorak sorai peserta dan warga setempat
yang ikut dan menyaksikan upacara Perang Ketupat, ini berlangsung kira kira
lebih kurang selama selama 30 menit. Setelah upacara Perang Ketupat selesai
, seluruh peserta, warga desa juga orang orang yang berada disana berbarengan
tertawa dan bercerita lalu saling berjabat tangan , berpelukan dengan suka cita
dan tidak ada dendam di antara mereka. Bila kita liat dari pemaparan di atas
segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang abadi, jadi rawat dan jaga lah adat
tradisi agar tidak hilang di telan masa dan modernisasai.
2.
Tradisi
mekotek

Gerebek
Mekotek atau lebih dikenal dengan Mekotek merupakan salah satu tradisi di Bali
yang hanya ada di desa Munggu, kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Lokasinya
tidak begitu jauh dari objek wisata Tanah Lot.Perayaannya tepat pada Hari Raya
Kuningan atau 10 hari setelah Hari Raya Galunagn.
Tradisi
Mekotek di Munggu ini digelar dengan tujuan atau sebagai prosesi tolak Bala,
melindungi dari serangan penyakit dan memohon keselamatan. Pada awal tradisi
ini digelar, dilakukan oleh warga untuk menyambut kedatangan para prajurit dari
pasukan kerajaan Mengwi yang sekarang memiliki peninggalan pura kerajaan
dinamakan pura Taman Ayun yang juga sebagai salah satu objek wisata di Bali.
Sambutan warga yang dilakukan pada waktu itu karena kemenangan pasukan kerajaan
Mengwi atas peperangan melawan kerajaan Blambangan yang berada di pulau Jawa.
Dan pada akhirnya tradisi unik Mekotek ini digelar sampai sekarang.
Tradisi
Mekotek di Munggu ini memang memiliki nilai yang sangat sakral, walaupun pada
awalnya hanya berupa sambutan kegembiraan menyambut kemenangan pasukan
kerajaan. Namun menjadi warisan budaya leluhur yang terus digelar. Namun pada
jaman kolonial Belanda, pada tahun 1915 pernah terjadi kekhawatiran penjajah
akan adanya pembrontakan, karena tradisi yang dikenal dengan nama Gerebeg ini
menggukan memungkinkan memunculkan semangat perjuangan rakyat, pihak kolonial
khawatir dan kemudian tradisi tersebut dihentikan. Setelah prosesi tersebut
tidak digelar lagi, maka terjadilah wabah penyakit, akhirnya tradisi Gerebek
ini kembali digelar.
tradisi
Mekotek ini memakai sarana tongkat yang dipadukan menjadi satu dengan ujung
yang mengkerucut menjadi formasi sebuah piramid, suara kayu-kayu yang
berbenturan satu sama lainnya sehingga menimbulkan suara tek…tek…tek sehingga
dikenal dengan nama Mekotek.
Perayaan
Mekotek di Munggu, pada awalnya menggunakan tongkat besi, untuk menghindari
agar tidak ada yang terluka, maka pada tahun 1948 digantilah menggunakan
tongkat dari kayu Pulet, yang kulitnya telah dikupas dan menjadi halus dengan
panjang 2 – 3.5 meter, sedangkan tombak aslinya disimpan di pura Desa setempat.
Sebelum prosesi tersebut digelar maka peserta wajib memakai pakaian adat madya
dan berkumpul di Pura Dalem Munggu. Dimulai dengan melakukan persembahyangan di
Pura Dalem setempat, kemudian mereka melakukan pawai dengan diiringi gamelan
Beleganjur menuju sumber mata air di desa Munggu.
Prosesi ini
diikuti hampir seluruh warga Munggu terutama kaum pria dengan usia diantara 12
– 60 tahun. Mereka terbagai dalam beberapa kelompok, setiap kelompoknya terdiri
sekitar 50 orang, tongkat kayu yang mereka bawa diadu membentuk seperti sebuah
piramid. Peserta prosesi Mekotek yang punya keberanian, bisa coba adu nyali
naik ke puncak kumpulan kayu tersebut, siap memberi komando atau penyemangat
bagi kelompoknya, hal sama dilakukan juga oleh kelompok lainnya. Para komando
memberikan perintah untuk menabrak dari kelompok lainnya.
3.
Tadisi
Mbed-mbedan

Upacara/tradisi Mbéd-Mbédan
dilaksanakan setiap Ngembak Geni, sehari setelah Hari Raya Nyepi, masyarakat
dapat menyaksikan gelaran tradisi unik di Desa Adat Semate, Kelurahan
Abianbase, Kecamatan Mengwi-Badung. Upacara/tradisi menarik itu dinamakan Mbéd-Mbédan.
Tradisi ini berawal dari tarik ulur di musyawarah dalam penamaan
tempat pemujaan tersebut yang menjadi cikal bakal lahirnya tradisi Mbed-mbedan
atau dalam bahasa Indonesia berarti “saling tarik” . Tradisi ini bertujuan
untuk menghormati bhisama Rsi Mpu Bantas dalam suatu pengambilan keputusan yang
saling tarik ulur dalam suatu musyawarah di Desa Adat Semate. Tradisi ini
diadakan untuk pertama kali sekitar tahun saka 1396 atau 1474 masehi pada saat
pemlaspasan berdirinya pura kahyangan tiga di Desa Adat Semate, Kelurahan Abianbase,
Kecamatan Mengwi-Badung. Tradisi Mbed-mbedan ini sempat ditiadakan sampai
puluhan tahun lamanya, namun kemudian akhirnya dilaksanakan kembali di tahun
2011, bertepatan tanggal 1 pada sasih Kedasa, sehari setelah Hari Raya Nyepi.
Seperti halnya sebuah perlombaan tarik tambang pada umumnya, namun
yang digunakan tidaklah tali tambang namun tali yang digunakan berasal
dari batang pohon menjalar, yang oleh masyarakat Semate disebut bun kalot yang
tumbuh di kuburan Desa Semate. Mbed-mbedan kemarin tak hanya diikuti
generasi muda saja, tetapi juga orang tua baik laki-laki maupun perempuan.
Uniknya dalam tradisi mbed-mbedan ini ada krama /warga yang ”bertugas”
menggelitik tubuh peserta.Jadi Pada saat saling tarik- menarik berlangsung,
krama yang bertugas bertugas menggelitik tubuh peserta akan mengelitiki
peserta mbed-mbedan. Peserta yang tak tahan gelitikan, akan melepas
pegangannya, sehingga membuat kekuatannya menjadi melemah. Permainan dinyatakan
selesai manakala peserta berhasil menarik tali yang dipegang lawan.
Rangkaian Mbed-mbedan dimulai dengan persembahyangan di Pura
Desa/Puseh. Krama desa adat yang terdiri atas 65 KK masing-masing membawa
sarana upacara berupa tipat bantal untuk dipersembahkan kepada Ida Batara.
Setelah itu, krama desa menuju depan pura yang berada di ruas jalan Kapal –
Abianbase untuk menggelar Mbed-mbedan.
Komentar
Posting Komentar